Jakarta - Indonesia tidak ketinggalan dalam pengembangan teknologi robot dibanding negara ASEAN lainnya, meskipun jika dibandingkan dengan Jepang atau Korea masih tertinggal jauh.
"Perkembangan robotika di Indonesia akhir-akhir ini lumayan pesat. Tapi agar lebih mampu bersaing di dunia dibutuhkan dukungan pemerintah yang lebih intens tentunya dengan dukungan biaya yang tidak sedikit," kata Pakar Mekatronika/ Robotika dari UI, Dr Abdul Muis M Eng di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, dibandingkan dekade lalu sekitar tahun 2000, sangat jarang dijumpai perguruan tinggi yang memiliki perkuliahan yang khusus tentang robot, namun sejak mulai maraknya lomba robot, kini hampir di setiap perguruan tinggi terkemuka memiliki tim robot.
Ia mengatakan, saat ini Jepang masih terdepan dalam dunia robot, namun pengembangan robot untuk generasi mendatang di dunia, diperkirakan akan dipimpin oleh Korea Selatan.
"Korea telah membuat robot center yang sangat besar sebagai tempat pengenalan dan sosialisasi teknologi robot. Setiap sekolah di sana juga diundang dan dibiayai untuk melakukan tur studi ke robot center. Sementara China juga tak kalah cepat perkembangan teknologi robotnya," katanya.
Sedangkan teknologi robot di Amerika Serikat juga masih terdepan, di mana riset-riset tentang robot dilakukan dengan dana yang tak terbatas dari militer.
Muis yang meraih gelar master dan doktornya di Keio University, Jepang, institusi yang memiliki Ohnishi lab dan dikenal sebagai pioner pengembangan teknologi haptics untuk surgery robot, menyatakan perbedaan signifikan ketika kembali ke Indonesia, di mana ia terpaksa melakukan riset robotnya dengan perangkat yang murah.
"Selama di Keio university, riset yang pernah saya lakukan mengendalikan dua robot mobile manipulator dengan high speed camera, visual tracking, compliant control dan realtime bilateral atau haptics robot," katanya.
Namun di Indonesia, karena robot berbasis embedded system (mikrokontroller) yang dirisetnya menggunakan sarana ala kadarnya, maka, hanya menghasilkan kinerja dan presisi yang juga sekedarnya saja, ujarnya.
Menurut dia, setidaknya butuh biaya puluhan kali lipat untuk bisa mendapatkan kinerja sebaik yang pernah dilakukan di Jepang.
Sebagai contoh, sensor putaran di ohnishi lab menggunakan laser dengan presisi 360 / 80000 derajat. Sedangkan sensor putaran yang paling tinggi bisa digunakan di sini hanya 360 / 1500 derajat, ujarnya.
Memang di pasaran bisa didapat presisi 360 / 2500 derajat, namun perangkat untuk membacanya tidak bisa dibuat dengan komponen yang tersedia di pasaran Indonesia.[*/ito] INILAH.COM
0 Komentar:
Posting Komentar